Sikap perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah menyadarkan pihak sekutu bahwa mereka tidak dapat mengabaikan perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kesadaran itu mendorong Sekutu untuk mempertemukan pihak Republik Indonesia dan Belanda di meja perundingan. Para pemimpin bangsa Indonesia pun menunjukkan niat baiknya untuk menyelesaikan perselisihan Indonesia Belanda dengan cara-cara damai. Rencana untuk mempertemukan pihak Indonesia dengan pihak Belanda di meja perundingan, diprakarsai oleh Panglima AFNEI, yaitu Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Pemerintah Inggris segera mengirim Sir Archibald Clark Kerr ke Indonesia dan selanjutnya bertindak sebagai penengah dalam perundingan-perundingan Indonesia-Belanda.
Perundingan antara Indonesia dengan Belanda dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Dalam perundingan ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan delegasi Belanda dipimpin oleh van Mook. Pertemuan yang diadakan di Jakarta itu ternyata tidak membuahkan hasil karena masing-masing pihak tetap pada pendiriannya. Pihak Indonesia secara tegas menolak pernyataan van Mook dan berpegang pada pendirian bahwa Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas jajahan Belanda. Pada tanggal 12 Maret 1946, pemerintah Republik Indonesia menyerahkan pernyataan penolakannya. Sekalipun perundingan di Jakarta mengalami kegagalan, tetapi pertemuan itu telah menyejajarkan Republik Indonesia, Belanda, dan Inggris di meja perundingan yang kemudian menjadi dasar perundingan-perundingan selanjutnya.
Sebaliknya, pihak Belanda hanya mau mengakui wilayah de facto Republik Indonesia atas Pulau Jawa dan Madura saja. Pihak Belanda juga tetap menginginkan Republik Indonesia menjadi bagian dari Kerajaan Belanda dalam bentuk Uni Indonesia-Belanda. Sementara perundingan-perundingan sedang berjalan, van Mook terus mengambil langkah-langkah untuk menyusun suatu struktur negara federal yang dikendalikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, diadakan serangkaian perundingan antara para penjabat pemerintah Indonesia yang daerahnya diduduki oleh Belanda. Di antaranya diselenggarakan Konferensi Malino pada tanggal 15 Juli 1946, Konferensi Pangkal Pinang pada tanggal 1 Oktober 1946, dan Konferensi Denpasar.
Pihak Inggris yang ingin segera meninggalkan Indonesia terus berusaha mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda di meja perundingan. Lord Killearn, seorang diplomat untuk Asia Tenggara berhasil membujuk kedua belah pihak untuk kembali berunding.
Berikut adalah beberapa perjuangan diplomasi mempertahankan kemerdekaan, perjuangan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan, upaya diplomasi perjuangan merebut kemerdekaan, perundingan roem royen, isi perundingan renville, isi perjanjian kmb.
Perundingan antara Indonesia dengan Belanda dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Dalam perundingan ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan delegasi Belanda dipimpin oleh van Mook. Pertemuan yang diadakan di Jakarta itu ternyata tidak membuahkan hasil karena masing-masing pihak tetap pada pendiriannya. Pihak Indonesia secara tegas menolak pernyataan van Mook dan berpegang pada pendirian bahwa Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas jajahan Belanda. Pada tanggal 12 Maret 1946, pemerintah Republik Indonesia menyerahkan pernyataan penolakannya. Sekalipun perundingan di Jakarta mengalami kegagalan, tetapi pertemuan itu telah menyejajarkan Republik Indonesia, Belanda, dan Inggris di meja perundingan yang kemudian menjadi dasar perundingan-perundingan selanjutnya.
Sebaliknya, pihak Belanda hanya mau mengakui wilayah de facto Republik Indonesia atas Pulau Jawa dan Madura saja. Pihak Belanda juga tetap menginginkan Republik Indonesia menjadi bagian dari Kerajaan Belanda dalam bentuk Uni Indonesia-Belanda. Sementara perundingan-perundingan sedang berjalan, van Mook terus mengambil langkah-langkah untuk menyusun suatu struktur negara federal yang dikendalikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, diadakan serangkaian perundingan antara para penjabat pemerintah Indonesia yang daerahnya diduduki oleh Belanda. Di antaranya diselenggarakan Konferensi Malino pada tanggal 15 Juli 1946, Konferensi Pangkal Pinang pada tanggal 1 Oktober 1946, dan Konferensi Denpasar.
Pihak Inggris yang ingin segera meninggalkan Indonesia terus berusaha mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda di meja perundingan. Lord Killearn, seorang diplomat untuk Asia Tenggara berhasil membujuk kedua belah pihak untuk kembali berunding.
Berikut adalah beberapa perjuangan diplomasi mempertahankan kemerdekaan, perjuangan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan, upaya diplomasi perjuangan merebut kemerdekaan, perundingan roem royen, isi perundingan renville, isi perjanjian kmb.
Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Belanda dalam Forum Internasional dan Pengaruhnya terhadap NKRI
Selain menggunakan perjuangan bersenjata, para pemimpin bangsa melakukan perjuangan diplomasi. Untuk lebih jelasnya, kalian pelajari beberapa contoh perjuangan diplomasi bangsa Indonesia dalam berbagai forum internasional di bawah ini.
1. Diplomasi Beras Tahun 1946
Antara India dengan Indonesia terdapat persamaan nasib dan sejarah. Keduanya sama-sama pernah dijajah dan menentang penjajahan. Oleh karenanya, ketika rakyat India mengalami kekurangan bahan makanan, pemerintah Indonesia menawarkan bantuan padi sejumlah 500.000 ton.
Perjanjian bantuan Indonesia kepada India ditandatangani tanggal 18 Mei 1946. Perjanjian ini sebenarnya merupakan barter kedua negara, sebab India ternyata juga memberikan bantuan obat-obatan kepada Indonesia.
Dampak yang ditimbulkan dari diplomasi beras adalah Indonesia semakin mendapat simpati dunia internasional dalam perjuangannya mengusir Belanda.
2. Perundingan Linggarjati
Perundingan Linggarjati dilakukan pada tangga 10 No ember 1946 di Linggarjati, dekat Cirebon. Dalam perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Scermerhorn. Perundingan tersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang diplomat Inggris.
Isi Hasil Perundingan Linggarjati
Berikut ini beberapa keputusan Perundingan Linggarjati.
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia meliputi Jawa, Madura, dan Sumatra.
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Belanda melanggar ketentuan perundingan tersebut dengan melakukan agresi militer I tanggal 21 Juli 1947. Meskipun isi Perundingan Linggarjati tidak menguntungkan bagi Indonesia, namun berhasil mengundang simpati internasional.
Hal ini terbukti dengan adanya pengakuan kedaulatan oleh Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Lebanon, Suriah, Afghanistan, Myanmar, Yaman, Saudi Arabia, dan Uni Soviet.
3. Agresi Militer Belanda I (Tanggal 21 Juli 1947)
Agresi Militer Belanda adalah serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agresi ini sering disebut dengan aksi polisionil yaitu perang melawan penjahat. Agresi militer dilakukan dua kali yaitu tanggal 21 Juli 1947 dan 19 Desember 1948.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi polisionil yang dikenal dengan agresi militer I. Tujuannya adalah untuk menguasai sarana-sarana ital di Jawa dan Madura.
Jadi tujuan serangan ini bersifat ekonomis. Pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura.
Berbagai reaksi bermunculan akibat agresi militer I. Belanda tidak menyangka apabila Amerika Serikat dan Inggris memberikan reaksi yang negatif. Australia dan India mengajukan masalah Indonesia ini ke Dewan Keamanan PBB.
Pada tanggal 4 Agustus 1947, PBB mengeluarkan perintah penghentian tembak menembak. Untuk mengawasi gencatan senjata, PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN).
Anggota KTN
Anggota KTN ada tiga negara yaitu:
- Belgia (dipilih oleh Belanda) dipimpin oleh Paul an Zeeland
- Australia (dipilih oleh Indonesia) dipimpin oleh Richard Kirby dan
- Amerika Serikat (dipilih oleh Indonesia dan Belanda) dipimpin Dr. Frank Graham.
Tugas utama KTN adalah mengawasi secara langsung penghentian tembak-menembak sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian masalah Indonesia menjadi masalah internasional. Secara diplomatis jelas sangat menguntungkan Indonesia.
KTN berhasil mempertemukan Indonesia dengan Belanda dalam Perjanjian Renville. Selain itu juga mengembalikan para pemimpin Republik Indonesia yang ditawan Belanda di Bangka.
4. Perundingan Renville
Perundingan Renville dilaksanakan di atas Geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat tanggal 17 Januari 1948. Dalam perundingan tersebut, pemerintah Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Sedangkan Belanda diwakili oleh Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Hasil Perundingan Renville
Hasil perundingan tersebut adalah:
- wilayah Indonesia diakui berdasarkan garis demarkasi (garis an Mook),
- Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia Serikat terbentuk,
- kedudukan RIS dan Belanda sejajar dalam Uni Indonesia-Belanda,
- RI merupakan bagian dari RIS, dan
- pasukan RI yang berada di daerah kantong harus ditarik ke daerah RI.
Nasib dan kelanjutan Perundingan Ren ille relatif sama dengan Perundingan Linggarjati. Belanda kembali melanggar perjanjian dengan melakukan agresi militer II tanggal 19 Desember 1948.
5. Agresi Militer Belanda II, (Tanggal 19 Desember 1948)
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan aksi polisionil ke II. Belanda menduduki kota Yogyakarta, yang diawali dengan penerjunan pasukan payung di Lapangan Udara Maguwo, serta mengepung dan menghancurkan konsentrasikonsentrasi TNI.
Dalam agresi kedua, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menangkap para pemimpin politik serta militer.
Meskipun para pemimpin politik ditangkap, pemerintahan Republik Indonesia tidak berhenti. Sebelum ditangkap Presiden Soekarno memberikan mandat melalui radiogram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Melalui PDRI, pemerintahan tetap terus berjalan. PDRI mampu memberi instruksi kepada delegasi Indonesia di forum PBB untuk menerima penghentian tembak-menembak dan bersedia berunding dengan Belanda.
Hal ini dilakukan dalam rangka menarik simpati dunia internasional. Selain itu untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintahan RI masih terus berjalan meskipun para pemimpin politik ditawan oleh Belanda.
Meskipun para pemimpin RI ditangkap, Belanda tidak menangkap Sri Sultan Hamengku Buwono I karena Belanda khawatir apabila Sri Sultan Hamengku Buwono I ditangkap akan membangkitkan perlawanan rakyat Yogyakarta.
6. Konferensi Asia di New Delhi
Konferensi Asia di New Delhi di selenggarakan pada tanggal 20 - 25 Januari 1949. Dalam konferensi tersebut hadir 19 negara termasuk utusan dari Mesir, Italia, dan New Zealand. Wakil-wakil dari Indonesia antara lain Mr. Utoyo Ramelan, Sumitro Djoyohadikusumo, H. Rosyidi, dan lain-lain.
Hasil Konferensi New Delhi
Hasil konferensi meliputi:
- pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta,
- pembentukan pemerintahan ad interim sebelum tanggal 15 Maret 1949,
- penarikan tentara Belanda dari seluruh wilayah Indonesia, dan
- penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari 1950.
Menanggapi rekomendasi Konferensi New Delhi, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi tanggal 28 Januari 1949 yang isinya:
- penghentian operasi militer dan gerilya,
- pembebasan tahanan politik Indonesia oleh Belanda,
- pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, dan
- akan diadakan perundingan secepatnya.
Dampak Konferensi Asia di New Delhi sangat jelas. Indonesia semakin mendapat dukungan internasional dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda.
7. Perundingan Roem - Royen
Terjadinya Agresi Militer Belanda menimbulkan reaksi yang cukup keras dari Amerika Serikat dan Inggris, bahkan PBB. Hal ini tidak lepas dari kemampuan pada diplomat Indonesia dalam memperjuangkan dan menjelaskan realita di PBB. Salah satunya adalah L.N. Palar.
Sebagai reaksi dari Agresi Militer Belanda, PBB memperluas kewenangan KTN. Komisi Tiga Negara diubah menjadi UNCI. UNCI kependekan dari United Nations Commission for Indonesia.
UNCI dipimpin oleh Merle Cochran (Amerika Serikat) dibantu Critchley (Australia) dan Harremans (Belgia). Hasil kerja UNCI di antaranya mengadakan Perjanjian Roem-Royen antara Indonesia Belanda. Perjanjian Roem-Royen diadakan tanggal 14 April 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Sebagai wakil dari PBB adalah Merle Cochran (Amerika Serikat), delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh an Royen. Dalam perundingan Roem-Royen, masing-masing pihak mengajukan statement.
Statement Indonesia dan Belanda dalam Perundingan Roem-Royen.
Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan pemerintah Republik Indonesia untuk:
- menghentikan perang gerilya,
- bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, dan
- ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag untuk mempercepat pengakuan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat dengan tanpa syarat.
Pernyataan dari delegasi Belanda, yaitu:
- menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta,
- menjamin penghentian gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik,
- tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948
- menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari RIS, dan
- berusaha agar KMB segera diadakan sesudah RI kembali ke Yogyakarta.
Dari dua usulan tersebut akhirnya diperoleh kesepakatan yang ditandatangani tanggal 7 Mei 1949. Kesepakatan antara lain:
- Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk menghentikan tembak-menembak dan bekerja sama untuk menciptakan keamanan.
- Pemerintah Belanda akan segera mengembalikan pemerintah Indonesia ke Yogyakarta, dan
- kedua belah pihak sepakat untuk menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
8. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen. Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan Permusyawaratan Federal).
Pertemuan ini dikenal dengan dengan Konferensi Inter-Indonesia (KII) Tujuannya untuk menyamakan langkah dan sikap sesama bangsa Indonesia dalam menghadapi KMB.