Perlawanan dilanjutkan oleh putra Sultan Hairun yaitu Sultan Baabullah. Pada tahun 1574, benteng Portugis mengalami kekalahan dan dapat direbut yang selanjutnya Portugis menyingkir ke daerah Timor Timur (Timor Loro Sae).
2) Perlawanan Kesultanan Demak
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis membuat perdagangan Islam mengalami kesulitan sehingga menimbulkan kerugian. Raden Patah mengirim pasukan di bawah komando Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1512 dan 1513, akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan jarak yang begitu jauh dan peralatan perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu, penyerangan tidak berhasil.
Karena Portugis sudah menanamkan kekuasaannya di Sunda Kelapa maka pada tahun 1527, Raja Demak waktu itu yakni Sultan Trenggono memerintahkan Fatahillah menyerang Portugis. Serangan tersebut dapat mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Pada tanggal 22 Juni 1527, Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta dan Fatahillah diangkat Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di Jayakarta.
3) Perlawanan Kerajaan Aceh
Perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Portugis dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam penyerang tersebut Aceh telah memiliki armada laut yang mampu mengangkut 800 prajurit. Pada tahun 1629, Aceh mencoba menaklukkan Portugis akan tetapi mengalami kegagalan. Permusuhan Aceh dan Portugis berakhir setelah Portugis harus keluar dari Malaka karena telah direbut Belanda tahun 1641.
b. Perlawanan terhadap VOC
1) Perlawanan Kerajaan Mataram
Perlawanan Mataram terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1628 dan 1629. Dalam serangan pertama, pasukan pertama dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso, sedangkan tentara kedua dipimpin oleh Suro Agul-Agul, Dipati Uposonto, Dipati Mandurejo, dan Dipati Ukur. Dalam pertempuran tersebut,Tumenggung Bahurekso gugur. Serangan ini mengalami kegagalan dikarenakan Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran, kurang bahan makanan serta persenjataan yang kurang lengkap.
Oleh sebab itu dalam serangan kedua mempersiapkan persenjataan dan membangun gudang padi di Tegal dan Cirebon. Namun, persiapan matang ini ternyata diketahui oleh VOC sehingga gudang-gudang padi milik Mataram di bakar akibatnya prajurit mengalami kekurangan makanan ditambah adanya wabah penyakit. Serangan kedua Mataram ini akhirnya juga mengalami kegagalan.
SetelahSultan Agung Hanyokrokusumo wafat (1645), Mataram tidak lagi melancarkan serangan ke Batavia karena penerusnya Amangkurat I bekerja sama dengan VOC. Dan setelah Amangkurat I, perlawanan kembali timbul yang dilancarkan oleh Trunojoyo, Untung Suropati (1685-1706), Mangkubumi, dan Mas Said (1749-1755).
2) Perlawanan Kerajaan Banten
Perlawanan Kerajaan Banten terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Akan tetapi putranya yakni Sultan Haji malah sebaliknya, mau bekerja sama dan tunduk kepada VOC. Hal ini dimanfaatkan VOC untuk mengadu domba antara keduanya. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 1682 pasukan Sultan Ageng menyerbu Istana Surosowan di mana Sultan Haji berada. Serangan itu mengalami kegagalan, karena persenjataan Sultan Haji yang dibantu VOC lebih lengkap. Tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan pemerintahan dipegang oleh Sultan Haji di bawah kendali VOC. Dan Sultan Ageng Tirtayasa dibuang ke Pulau Edam.
3) Perlawanan Kerajaan Makassar
Perlawanan Kerajaan Makassar terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Hasanudin. Untuk menguasai Makassar, VOC mendekati Aru Palaka untuk membantu dalam penyerangan terhadap Sultan Hasanudin. Di mana VOC menyerang Kerajaan Makassar dari laut dan Aru Palaka menyerang dari darat. Keadaan ini membuat Sultan Hasanudin menyerah dan harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Isi dari perjanjian Bongaya yaitu:
a) Sultan Hasanuddin memberi kebebasan kepada VOC melaksanakan perdagangan.
b) VOC memegang monopoli perdagangan di Sombaopu.
c) Benteng Makassar di Ujungpandang diserahkan pada VOC.
d) Aru Palaka menjadi raja Bone dan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya terbebas dari kekuasaan Gowa.
4) Perlawanan rakyat Maluku
Perlawanan rakyat Maluku khususnya di Ternate terhadap VOC dipimpin oleh Kakiali dan Kapten Hitu tahun 1635. Kemudian pada tahun 1646, terjadi perlawanan kembali yang dipimpin oleh Telukabesi. Perlawanan terbesar terhadap VOC saat dipimpin oleh Saidi pada tahun 1650.
Sedang perlawanan di Tidore dipimpin oleh Sultan Jamaludin. Pada tahun 1779, Sultan Jamaludin tertangkap dan dibuang ke Sailan. Perlawanan dilanjutkan oleh putra Sultan Jamaludin yaitu Sultan Nuku. VOC dapat menguasai wilayah Tidore setelah Sultan Nuku wafat pada tahnu 1805.
2. Perlawanan rakyat terhadap Pemerintah Kolonial
a. PerangMaluku (1817)
Perang Maluku juga disebut sebagai perang rakyat Saparua. Sebab terjadinya perang Maluku yaitu: Peredaran uang kertas yang membingungkan; Dikuasainya Benteng Duurstede oleh Belanda; Himbauan agar pemuda Maluku menjadi prajurit Belanda; Adanya penindasan rakyat Maluku.
Perang ini meluas hingga ke Ambon, Hitu, Haruku dan Larike. Pemimpin perlawanan ini yaitu Thomas Matulessy (Kapiten Patimura). Pada tanggal 15 Mei 1817, pasukan Pattimura menyerbu ke Benteng Duurstede yang dibantu oleh Anthonie Rheebok, Christina Martha Tiahahu, Philip Latumahina dan Kapiten Said Printah. Dalam penyerang itu banyak pasukan Belanda yang tewas dan menyerah.
Untuk mengatasi perlawanan Patimura, Belanda mendatangakan bantuan ke Saparua di bawah pimpinan Kapten Lisnet. Pada tanggal 11 November 1817, Thomas Matulessy tertangkap di perbatasan hutan Booi dan Haria. Bersama tokoh lainnya yakni Anthonie Rheebok, Said Printah dan Philip Latumahina. Thomas Matulessy dijatuhi hukuman gantung pada tanggal 10 Desember 1817.
b. Perang Paderi (1821-1837)
Perang ini terjadi dari gerakan Paderi yang ingin memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, Sumatra Barat. Perang ini antara kaum Paderi dengan kaum adat yang dibantu oleh Belanda. Jalannya perang Paderi terbagi dalam 2 tahap:
1) Tahap I (1821-1825)
Pada tahap ini kaum Paderi menyerang pos-pos patroli Belanda. Tokoh pemimpin dari kaum Paderi diantaranya Tuanku Pasaman memusatkan gerakannya di Lintau, Tuanku Nan Renceh di sekitar Baso, Peto Syarif yang terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol memusatkan perlawanan di Bonjol. Dari berbagai perlawanan tersebut yang paling sengit yaitu perlawanan kaum Paderi di Agam tahun 1823 pimpinan Tuanku Imam Bonjol (M. Syahab), Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, dan Tuanku nan Alahan. Karena di Jawa, Belanda sedang menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro, akhirnya Belanda melakukan perdamaian dengan kaum Paderi di Bonjol tanggal 15 November 1825.
2) Tahap II (1825-1837)
Setelah menundukkan Diponegoro, Belanda kembali berkonsentrasi menghadapi Perang Paderi. Untuk menghadapi perlawanan kaum Paderi, Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukittinggi dan Benteng Fort van der Cappelen. Kedua benteng tersebut merupakan benteng pertahanan. Pada tanggal 21 September 1837, markas Bonjol jatuh dan Tuanku Imam Bonjol menyerah. Ia diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864. Jenazahnya dimakamkan di Pineleng dekat Manado.
c. Perang Diponegoro (1825-1830)
Sebab khusus terjadinya perang yaitu adanya rencana pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Sedang sebab umum terjadinya perang adalah penderitaan rakyat sebagai akibat adanya berbagai macam pajak, seperti: pajak bumi, pajak jembatan, pajak jalan dan pajak ternak; wilayah Mataram dipersempit dan para raja sebagai penguasa pribumi mulai kehilangan kedaulatan; Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan; para bangsawan kecewa karena dilarang menyewa tanahnya (mulai tahun 1824); para bangsawan dan ulama kecewa karena peradaban Barat dimasukkan dalam keraton; sebagian bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti adat istiadat keraton.
Dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, Pangeran Diponegoro dibantu oleh Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo dan Pangeran Dipokusumo. Untuk menghindari penyergapan, Pangeran Diponegoro menjalankan siasat perang gerilya dengan markas berpindah-pindah dari Selarong, ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih.
Untuk mengatasi perlawanan Diponegoro, Belanda menggunakan siasat Benteng stelsel akan tetapi siasat ini kurang efektif. Kemudian Jenderal De Kock, menjalankan siasat licik melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia berunding dengan Belanda di rumah Residen Kedu di Magelang. Saat berunding Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Semarang lalu dipindah ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Menado. Pada tahun 1834, Diponegoro dipindah ke Makassar dan meninggal di sana pada tanggal 8 Januari 1855.
d. Perang Bali (1846-1849)
Penyebab terjadinya perang Bali yaitu: Belanda menolak adanya Hukum Tawan Karang yaitu hak dari raja-raja Bali untuk merampas semua perahu asing yang terdampar di wilayah kerajaannya; Kerajaan Bali tidak mau memenuhi tuntutan Belanda untuk menghapuskan Hukum Tawan Karang; Belanda menuntut agar kerajaan-kerajaan Bali melindungi perdagangannya; Belanda menuntut agar Kerajaan Bali tunduk pada pemerintah Hindia Belanda.
Karena adanya masalah tersebut akhirnya Belanda menyerang Pulau Bali pada tahun 1846 yang dipimpin oleh Mayor Jenderal A.V. Michiels dan wakilnya van Swieten. Sasaran utama dari penyerangannya yaitu Kerajaan Buleleng. Untuk menghadapi serangan Belanda, Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta pasukan sudah mempersiapkan diri. Serangan tersebut membuat pasukan I Gusti Ktut Jelantik terdesak hingga keluar Benteng Jagaraga.
Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ktut Jelantik dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda menuju Karangasem. Belanda kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Bali. Ternyata perlawanan sengit dari rakyat setempat membuat pihak Belanda cukup kewalahan. Perang puputan pecah di mana-mana, seperti Perang Puputan Kusamba (1849), Perang Puputan Badung (1906), dan Perang Puputan Klungkung (1908).
e. Perang Banjar (1859-1863)
Penyebab meletusnya perang Banjar yaitu adanya campur tangan Belanda dalam pergantian kepemimpinan di Banjar. Ketika pengganti dari Sultan Adam Al Wasikbillah yakni putranya yang bernama Sultan Muda Abdurrakhman meninggal dunia, maka yang menjadi raja yaitu cucunya (Pangeran Hidayatullah atau Pangeran Tamjid).
Pangeran Hidayatullah memiliki perangai yang baik, taat beragama, luas pengetahuan dan disukai rakyat akan tetapi Pangeran Tamjid sebaliknya, ia lebih dekat dengan Belanda. Maka dari itu Sultan Adam Al Wasikbillah lebih memilih Pangeran Hidayatullah menjadi penggantinya. Akan tetapi Belanda mendesak sekaligus mengancam bila Sultan Adam Al Wasikbillah tidak memilih Pangeran Tamjid sebagai penggantinya.
Kebencian rakyat terhadap Pangeran Tamjid dan Belanda semakin meluas, sehingga muncul perlawanan yang berkobar sekitar tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari yang didukung oleh Pangeran Hidayatullah. Selain itu perlawanan terhadap Belanda mendapat dukungan dari Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin dan Kyai Langlang. Perlawanan tersebut diawali dengan menyerbu pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron. Merasa terdesak Belanda meminta bantuan dari Jawa yang dipimpin oleh Verspick. Keadaan menjadi terbalik, akibatnya Pangeran Hidayatullah tertangkap dan diasingkan Belanda ke Cianjur tanggal 3 Maret 1862. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat. Sepeninggal Pangeran Antasari, para pemimpin satu per satu tertangkap dan perang Banjar dapat dipadamkan.
f. Perang Aceh (1873-1904)
Penyebab terjadinya perang Aceh yaitu adanya penandatanganan Traktat Sumatra oleh Belanda dan Inggris yang menggantikan Traktat London. Isi Traktat London (1824) menyatakan bahwa Inggris dan Belanda harus menghormati kedaulatan Aceh, sedang Traktat Sumatra (1871) berisi bahwa Belanda bebas meluaskan kekuasaannya di Sumatra, termasuk Aceh.
Karena rakyat Aceh tidak mau mengakui kekuasaan pemerintah Belanda, maka pada tanggal 5 April 1873 terjadi pertempuran di Masjid Raya. Dalam pertempuran tersebut Mayor Jenderal Kohler tewas. Tokoh-tokoh perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda diantaranya Panglima Polem, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Sultan Daud Syah, Teuku Leung Bata, Cut Nyak Dien, Cut Meutia. Dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh Belanda menggunakan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan yang memusatkan pasukan di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Akan tetapi, siasat ini gagal mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Karena kesulitan mengalahkan rakyat Aceh, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham tentang agama Islam untuk mengadakan penelitian tentang kehidupan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya ditulis dalam buku yang berjudul De Atjeher. Kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje tentang penelitiannya yaitu bahwa pemerintah kolonial harus mengesampingkan sultan yang kedudukannya hanya sebagai lambang pemersatu dan kekuatan Aceh justru terletak pada hulubalang dan ulama, untuk menaklukkan Aceh pemerintah Belanda harus melakukan serangan secara besar-besaran ke seluruh wilayah Aceh dengan siasat kekerasan, setelah mampu menduduki Aceh pemerintah Hindia-Belanda harus meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan yang dipimpin oleh van Heutsz. Dalam serangan tersebut banyak rakyat Aceh yang menjadi korban. Satu per satu pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Pada tahun 1903, Sultan Daud Syah menyerah, diikuti Panglima Polem, sementara Teuku Umar gugur di Meulaboh. Cut Nyak Dien bersama Cut Meutia melanjutkan perjuangan. Jatuhnya Benteng Kuto Reh ke tangan Belanda tahun 1904 membuat Aceh harus menandatangani Perjanjian Singkat (Korte Verlelaring), yang isinya rakyat Aceh harus mengakui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di negerinya.