--> Skip to main content

Perundingan-Perundingan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Perundingan-Perundingan Dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia - Kegiatan Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Melestarikan Kemerdekaan Indonesia Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan diplomasi, yaitu perjuangan melalui meja perundingan. 

Bila Belanda ingin menghidupkan kembali kekuatan mereka di Indonesia, maka bangsa ini selalu dilawan oleh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, para pemimpin Sekutu mencoba mempertemukan para pemimpin Indonesia dengan Belanda melalui perundingan berikut:

1. Pertemuan Soekarno-Van Mook
2. Pertemuan Sjahrir-Van Mook
3. Negosiasi Sjahrir-Van Mook
4. Negosiasi di Hooge Veluwe
5. Negosiasi Linggajati
6. Renville negosiasi
7. Perjanjian Roem-Royen
8. Meja Konferensi BUndar (KMB)

Berikut penjelasan negosiasi dalam menjaga kemerdekaan Indonesia seperti di bawah ini.

1. Pertemuan Soekarno-Van Mook

Pertemuan antara perwakilan Belanda dan pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Komandan AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945.

Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh, sebagai berikut ...
1. Soekarno, Mohammad Hatta
2. Ahmad Sobardjo,
3. H. Agus Salim,
Sedangkan sisi Belanda diwakili oleh, sebagai berikut.
1. Van Mook
2. Der Plas.

Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk mengeksplorasi kesepakatan kedua belah pihak dalam perselisihan. Presiden Soekamo menyatakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan negosiasi berdasarkan pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan takdir mereka sendiri. Sementara itu, Van Mook mengungkapkan pandangannya tentang masalah masa depan Indonesia yang ingin dilalui Belanda agar Indonesia bisa menjadi negara
Lingkungan kerajaan Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan memasukkan Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van Mook disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, dan bahkan Van Mook akan dipecat dan jabatan wakil gubernur jenderal Hindia Belanda (Indonesia).

2. Pertemuan Sjahrir-Van Mook

Pertemuan tersebut diadakan pada tanggal 17 November 1945 di Markas Besar Angkatan Darat Inggris di Jakarta (Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini Sekutu diwakili oleh Letnan Jenderal Christison, Belanda oleh Dr. H.J. Van Mook, sementara delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sebagai pemrakarsa pertemuan ini,
Christison bermaksud untuk mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda, selain menjelaskan maksud pasukan Sekutu, namun pertemuan ini tidak membawa hasil.

3. Perundingan Sjahrir -Van Mook

Rapat yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu gagal. Namun, pemerintah Inggris terus berusaha membawa Indonesia dan Belanda bahkan melakukan upgrade ke negosiasi. Untuk menyatukan kembali pihak Indonesia dengan Belanda, pemerintah Inggris mengirim seorang diplomat ke Indonesia yaitu Sir Archibald Clark Kerr sebagai mediator. Pada tanggal 10 Februari 1946, perundingan Belanda-Indonesia dimulai.
Saat itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda, antara lain, sebagai berikut.
(1) Indonesia adalah negara Persemakmuran dalam bentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam Kerajaan Belanda.
(2) urusan dalam negeri yang dijalankan oleh Indonesia sementara urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.

Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir mengajukan sebuah counter-proposal yang berisi hal-hal berikut ini.
(1) Republik Indonesia diakui sebagai negara berdaulat atas bekas Hindia Belanda.
(2) Federasi Indonesia-Belanda diadakan pada waktu dan urusan luar negeri dan pertahanan tertentu ditugaskan ke sebuah badan federasi yang terdiri dari orang Indonesia dan Belanda.

Proposal dan pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh Belanda dan kemudian Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai perwakilan Jawa untuk menjalin kerjasama dalam rangka pembentukan negara federal di dalam Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengusulkan usulan baru kepada Van Mook, antara lain, sebagai berikut.
(1) Agar pemerintah Belanda dapat mengenali kedaulatan de facto Ri atas Jawa dan Sumatera.
(2. Jadi RI dan Belanda bekerja sama untuk membentuk Republik Indonesia (RIS).
(3) RIS bersama Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.

Negosiasi tersebut berlangsung pada tanggal 14-25 April 1946 di Hooge Veluwe (Belanda), yang merupakan kelanjutan dan diskusi yang disepakati oleh Sjahrir dan Van Mook. Delegasi dalam negosiasi ini adalah:

Dari Pemerintah Republik Indonesia adalah ...
1. Pak Suwandi,
2. dr. Sudarsono,
3. Pak A.K. Pringgodigdo
Sementara dari sisi Belanda saya ...
1. Dr. Van Mook,
2. Prof. Logemann,
3. Dr. Idenburgh,
4. Dr. Van Royen,
5. Prof. Van Asbeck,
6. Sultan Hamid II,
7. Surio Santosa

Dan sebagai Intermediate Point yang Diwakili oleh Sekutu, yaitu. Sir Archibald Clark Kerr

Negosiasi yang terjadi di Hooge Veluwe tidak membawa hasil karena Belanda menolak konsep pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Belanda tidak mau memberikan pengakuan secara de facto atas kedaulatan Indonesia atas Jawa dan Sumatra tapi hanya di Jawa dan Madura dan mengurangi wilayah yang ditempati oleh Sekutu. Jadi, untuk saat ini, hubungan Indonesia-Belanda terputus, namun Van Mook masih berusaha mengajukan usul untuk pemerintahnya ke RI.

5. Perundingan Linggajati

Meskipun negosiasi Hooge Veluwe telah gagal namun secara prinsip bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda telah diterima dan dunia menganggap bahwa bentuknya sesuai. Oleh karena itu, pemerintah Inggris masih menaruh perhatian besar pada penyelesaian perselisihan Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof Schermerhorn.

Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mengumpulkan perwakilan pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang sedang berlangsung di kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam konflik ini, isu gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh sebuah komite yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan militer tersebut adalah sebagai berikut:

(1). Gencatan senjata dilakukan atas dasar berdiri militer pada saat itu dan atas dasar pasukan militer Sekutu dan Indonesia.
(2). Komisi membentuk gencatan senjata untuk masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam mencapai kesepakatan politik antara Indonesia dan Belanda, negosiasi Linggajati diadakan. Perundingan tersebut dilakukan pada tanggal 10 November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon.

Delegasi Belanda dipimpin oleh As ...
· Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya adalah:

1. Max Van Poll,
2. F. de Baer
3. H.J. Van Mook.

Delegasi Indonesia dipimpin oleh As ...

Perdana Menteri Sjahrir, dengan anggotanya adalah:
1. Pak Moh. Roem, Pak Amir
2. Sjarifoeddin,
3. Pak Soesanto Tirtoprodjo,
4. Dr. A.K. Gani,
5. Tuan Au Boediardjo.

Sementara mediatornya adalah Lord Killearn, komisaris khusus Inggris untuk Asia Tenggara.
Hasil negosiasi Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut.

(1) Belanda mengakui Republik Indonesia secara de facto dengan wilayah yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah de facto pada tanggal 1 Januari 1949.

(2) Republik Indonesia dan Belanda bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, atas nama Republik Indonesia Serikat, dimana salah satu negara Republik Indonesia adalah Republik Indonesia.

(3) Amerika Serikat dan Belanda akan membentuk Serikat Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.
Meski isi negosiasi Linggajati masih ada perbedaan interpretasi antara Indonesia dan Belanda, namun posisi Republik Indonesia di mata Internasional sangat kuat karena Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto.

6. Perundingn Renville 

Penafsiran yang berbeda atas isi negosiasi Linggaiati meningkat dan Belanda akhirnya melakukan Agresi Militer pertama melawan Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Pada awal KTT Tiga Negara, hal tersebut berhasil dicapai antara orang Indonesia dan Belanda dalam sebuah negosiasi Pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat "USS Renville" sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947, di mana pihak Indonesia mengirim delegasi yang dipimpin oleh Pak Amir Syarifuddin, sementara pihak Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang berpihak pada Belanda.
Hasil negosiasi Renville yang baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang pada intinya adalah sebagai berikut.

(1) Pemerintah Republik Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai saat ini ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Amerika Serikat (NIS).
(2) Harus ada pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai populasi di wilayah Jawa, Madura dan Sumatera menginginkan wilayah mereka untuk bergabung dengan RI atau negara bagian lain dan Amerika Serikat.

(3) Setiap negara berhak untuk tinggal di luar NIS atau untuk menjalin hubungan khusus dengan NIS atau dengan Belanda.

Akibat negosiasi Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit. Namun, RI bersedia menandatangani kesepakatan ini karena beberapa alasan karena pasokan amunisi perang menipis sehingga jika menolak berarti Belanda akan menyerang lebih kuat. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat membantu dan RI yakin bahwa pemungutan suara akan dimenangkan oleh pihak Indonesia.

7. Perjanjian Roem-Royen

Ketika Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, dia memiliki pandangan yang berbeda tentang Van Mook tentang Indonesia. Dia berpendapat bahwa di Indonesia pemulihan kekuatan pemerintah kolonial untuk melakukan tindakan militer harus dilakukan. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan bahwa dia tidak terikat oleh Pembicaraan Renville dan melanjutkan agresi militer keduanya pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 6:00 pagi dengan menyerang ibukota Indonesia Yogyakarta.
Dengan acara ini, Three State Commission (KTN) berganti nama menjadi United Nations Commission for Indonesia (UNCI). Komisi UNCI bertugas membantu negosiasi antara Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 7 Mei 1949 Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen saya adalah kepala delegasi Belanda, yang masing-masing membuat pernyataan berikut.


1). Pernyataan Tuan Moh Roem.
A. Mengeluarkan perintah kepada "Tentara Republik bersenjata" untuk menghentikan perang gerilya.
B. Bekerja sama untuk memulihkan kedamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
C. Berpartisipasi dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat "penyerahan kedaulatan dan kedaulatan lengkap ke Amerika Serikat, tanpa syarat.

2). Dr. Van Royen

A. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
B. Memastikan penghentian gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
C. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di wilayah yang dikuasai Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan memperluas negara atau wilayah tersebut dengan merugikan Republik
D. Menyetujui Republik Indonesia sebagai bagian dari Amerika Serikat.
E. Mencoba dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar diadakan segera setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.

8. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Salah satu pernyataan Roem-Royen adalah Konferensi Meja Bundar (KMB) segera. Sebelum KMB mengadakan Konferensi Antar - Indonesia antara perwakilan Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau Pertemuan Konsultatif Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali pada tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan ada 31 Juli - 2 AgustuS 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan terpenting dari konferensi ini adalah bahwa BFO mendukung tuntutan Republik Indonesia atas pengalihan kedaulatan tanpa ikatan politik atau ekonomi.
Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 Konferensi Meja Bundar diadakan di Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willern Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO di bawah kepemimpinan Sultan Hamid II dan Pontianak, dan delegasi Belanda memimpin Van Maarseveen sedangkan dan UNCI sebagai mediator yang dipimpin oleh Chritchley.

Pada tanggal 2 November 1949 berhasil menandatangani perjanjian KMB. Isi dan kesepakatan KMB adalah sebagai berikut.

1. Belanda mengakui kedaulatannya ke Amerika Serikat pada akhir Desember 1949.
2. Mengenai Irian Barat penyelesaian ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3. Antara RIS dan Kekaisaran Belanda akan diselenggarakan hubungan Persatuan Indonesia-Belanda yang akan diketuai oleh Ratu Belanda.
4. Akan ada penarikan semua pasukan Belanda.
5. Angkatan Bersenjata RIS (APRIS) dengan TNI berada pada intinya.

Dan hasil KMB tersebut menyatakan bahwa pada akhir Desember 1949 Indonesia mengakui kedaulatan Belanda. Karena itu, pada tanggal 27 Desember 1949, penandatanganan pengakuan kedaulatan di Belanda diadakan. Sisi Belanda ditandatangani oleh

1. Ratu Juliana,
2. Perdana Menteri Dr. Willem Drees
3. Menteri seberang laut AM. J.A Sassen.

Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada saat yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Mahkota Tertinggi AH.J. Lovink menandatangani teks pengakuan kedaulatan. Dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda maka Indonesia berubah bentuk negara berubah menjadi negara kesatuan Republik Indonesia (RIS).

(Sumber: IPS: 56-63, Penerbit Pusat Buku Kementerian Pendidikan Nasional, Pengarang: Sutarto)

Mungkin Anda Suka
Buka Komentar
Tutup Komentar